Bapak Pers Indonesia
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan, dan lantas engkau akan menjadi bingung dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk-amuk belaka!”.
Itulah penggalan
dari pidato terakhir Bung Karno sebagai presiden RI pada 17 Agustus 1966.
Pidato iru dikenal dengan sebutan “Jas Merah” atau jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah. Betapa pentinganya sejarah bagi kehidupan kita masa kini
sampai-sampai sang Presiden memberikan perhatian khusus. Dalam sebuah
dialektika sejarah selalu ada pertentangan-pertentangan didalamnya agar
tercipta sebuah kualitas baru yang lebih konstruktif, sejarah pers Indonesia
tentu saja tidak akan terlepas dari seorang tokoh yang berpengaruh dalam
perkembangannya.
Sejarah telah
mencatat bahwa perjuangan Pers awal tahun 1900 tepatnya tahun 1903 berdirilah
sebuah media massa yang mampu memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak
terjebak dan terjerebab dalam lubang kemiskinan serta kebodohan yang diciptakan
bangsa imperialis (penjajah). Medan
Prijaji (baca : Medan Priyayi) 1909-1912 menjadi media milik pribumi setelah Soenda Berita (1903-1906) yang didirikan
pula oleh pahlawan yang terlupakan oleh sejarah Indonesia yaitu Tirto Adhi
Soerjo (1880-1918).
Tirto Adhi Soerjo
lahir di kota Blora 1880 dengan nama kecil Djokomono, semenjak umur 12 tahun
serta masih murid kelas satu sekolah dasar Belanda (tahun 1902 nama resminya:
Europeesche Lagere School, ELS) di Bojonegoro beliau sudah ikut dengan kakek
neneknya dikota yang sama. Ia adalah cucu R.M.T Tirtonoto, Bupati Bojonegoro,
yang sebelum 1827 bernama Rajegwesi, Keresidenan Rembang pada masanya. Karena
jasa-jasanya kakek Tirtonoto dikaruniai bintang Ridder Nederlandsche Leeuw,
bintang tertinggi sipil kerajaan Belanda. Sedangkan nama neneknya adalah Raden
Ayu Tirtonoto, mungkin sudah mulai kecil dia kehilangan kedua orang tuanya.
Sepeninggal kakek dan neneknya Djokomono hijrah ke Madiun ikut saudara
sepupunya, R.M.A. Brotodiningrat, Bupati Madiun. Itu pun tidak sampai tamat
sekolah, karena kemudian ia pindah ke Rembang, ikut abangnya, R.M. Tirto Adi
Koesoemo. Setamat SD, pada umur sekitar 14
tahun ia meneruskan ke sekolah dokter STOVIA (School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen) di Betawi.
STOVIA waktu itu sudah
beberapa kali mengalami perombakan. Pada awalnya lama sekolah hanya dua tahun.
Pada tahun 1875 menjadi tujuh tahun dengan dua kelas persiapan. Waktu ia masuk
masa persiapan sudah diperpanjang lagi menjadi 3 tahun. Tidak jelas mengapa ia
hanya menempuh dua kelas persiapan dan bukannya tiga. Tahun 1900 ia berumur
sekitar 220 tahun, duduk ditingkat 4 sekolah dokter STOVIA, setelah belajar
disitu selama 6 tahun. Pada waktu itulah ia dikeluarkan dari sekolah tanpa
sebab yang jelas sebabnya.
Dapat dibayangkan
Djokomono melewatkan semua kesenangan. Ia seorang Raden Mas, yang pada masanya
menduduki tingkat atas kebangsawanan. Jarang seorang Raden Mas mau melanjutkan
pelajaran ke sekolah dokter, bahkan bisa dikatakan diluar kebiasaan dimana
golongan bangsawan meneruskan sekolah untuk calon pegawai negeri. Mudah
dipahami: dokter adalah pekerjaan pengabdian dan pegawai negeri adalah
pekerjaan memerintah. Di Betawi Tirto Adhi Soerjo terlepas bebas dari semua
ikatan dan aturan ketat aturan keluarga nigrat-priyayi. Ia langsung menceburkan
diri dalam pergaulan dengan seluruh lapisan masyarakat. Ini dapat diketahui
dari cepatnya ia menyerap dialek Melayu-Betawi dann langsung menggunakannya
dalam tulisan.
Ia mulai membantu Chabar Hindia Olanda (terbit: Batavia,
1888 - 1897), yang dipimpin oleh Alex Regensburg, selama dua tahun. Dengan
matinya surat kabar tesebut ia kemudian menjadi pembantu di Pembrita Betawi (terbit: Batavia, 1884 -
1916), sebuah surat kabar berkala pimpinan Overbeek Bloem. Tidak lama kemudian
menjadi pembantu tetap Pewarta Priangan, terbitan
Banndung. Karena yang terakhir ini berumur pendek ia kembali membantu harian Pembrita Betawi.
Pers murni pribumi
dapat dikatakan belum ada sebelum 1900, sekalipun menggunakan bahasa pribumi,
Melayu dan terutama Jawa. Bahkan sampai itu belum ada harian atau berkala
berbahasa Sunda, dan masih harus menunggu beberapa tahun lagi. Pers berbahasa
Batak Soara Batak dan Palito Batak terbit di Tarutung baru
tahun 1919 dan 1927. Para penerbit semasa itu berlaku sebagai pedagang semata.
Perniagaan lebih menentukan, dan ini mempengaruhi bukan hanya wajah penerbitan
tapi juga gaya penulisan. Itupun kerjanya yang pokok baru
mengutip dan menyalin dari pers putih (pers Tionghoa). Secara
umum bisa dikatakan pers kala itu baru pada taraf menjual tulisan dan informasi
dalam berbagai macam bentuknya. Ini belumlah sampai pada apa taraf pembentukan
pendapat umum atau yang Tirto sendiri sebut “pengawal pikiran umum”. Pers putih
pun masih tertinggal jauh dibanding Pers Eropa.
Keadaaan ini mulai berubah ketika datangnya Karel Wijbrands
datang. Dia adalah seorang pendatang baru didunia Pers, meski pendatang baru ia
mempunyai prestasi yang mengagumkan selam bekerja di De Sumatra Post (terbit: Medan, 1899 - 1942) yang kemudian dia ditarik oleh Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie) yang baru kan terbit di
Betawi. Di Betawilah ia mendapat kesempatan mengembangkan kemampuannya, dengan
kehadirannya di Betawi dapat mempengaruhi terbitan pers putih lainnya, dan
dengan demikian menaikan mutu pers putih Hindia. Pada gilirannya pers Pribumi
pun terpengaruh. Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch-Indie)dicetak sedapur dengan Pembrita Betawi, redaksinya pun sekantor. Karena pada saat itu
Tirto Adhi Soerjo menjadi redaktur-kepala dan penanggung jawab Pembrita Betawi, langsunglah ia
terpengaruh oleh Wijbrands yang mampu membuat Pers waktu itu sebagai tempat
pengawal pikiran umum.
Beberapa
kali dalam karirnya sebagai jurnalis Tirto Adhi Soerjo dengan gagah berani
telah membongkar ulah para pejabat kolonial, putih dan coklat, berpangakt
tinggi maupun rendahan. Kekosongan jabatan bisa menjadi alat atasan untuk
maksud-maksud atau pun kepentingan pribadi, kekosongan jabatan bupati bisa
menjadi peluang bagi seorang residen untuk mencalonkan bupati baru dengan atau
tanpa kepentingan bagi diri residen. Skandal Residen Madiun, J.J. Donner,
adalah menurunkan Bupati Madiun, Brotoningrat. Untuk itu ia telah melakukan persekongkolan dengan Patih
dan Jaksa-Kepala Madiun, Mangoen Atmojo dan Adipoetro. Kasus ini akhirnya
terselesaikan dan pembongakaran-pembongkaran fakta yang dilakukan Tirto melalui
Pembrita Betawi, sehubungan dengan
kasus ini untuk pertama kalinya ia diperiksa oleh yang berwajib. Karena
keteguhan hati dan kesabarannya untuk tetap menjaga nama-nama dari sumber
informasinya meskipun mendapatkan banyak tekan Tirto Adhi Soerjo mulai mencuat
sebagai jurnalis muda yang berani, tabah dan informasinya benar.
Dengan modal penjualan semua
harta-bendanya yang ada di Betawi, ditambah dengan pemberian Bupati Cianjur, Soenda Berita (1903-1906) mulai terbit dalam Februari 1903
merupakan awal Pers Indonesia dengan redaksi dan pencetak juga di Cianjur. Juga
ini merupakan terbitan pertama dalam sejarah pers Indonesia yang redaksinya
bertempat di desa dan terbit setiap hari Minggu. Dari penerbitannya selama tiga
tahun nampak Tirto Adhi Soerjo mempunyai progam yang jelas, yaitu menaikkan
tingkat pengetahuan bangsanya diberbagai bidang dan menyiapkan pembacanya
memasuki jaman modern yang sedang mendatangi. Karena megalami kesulitan
pendanaan dan berhubung tak dapat diselamatkannya penerbitan th. III dan IV
atau tahun 1905 dan 1906 maka perkembangannya pada tahun-tahun tersebut tidak
dapat diketahui. Yang jelas pada 1906 SB tidak mungkin meneruskan penerbitannya
karena keberangkatan Tirto ke Maluku.
Nampak
dalam pengembaraanya di Maluku ia telah menyiapkan rencana besar menerbitkan
surat kabar yang lain dari yang lain, yang merupakan gabungan dari semua
suksesnya yang mampu memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan
bantuan hukum, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi
diri, membangunkan dan memajukan bangssaya serta memperkuat bangsanya dengan
usaha dagang, hingga lahirlah Medan
Prijaji (1909-1912). Akhirnya MP gugur secara dramatis setelah pencapainya
yang besar salah satunya gugatan pengusiran terhadap ratusan keluarga Jawa oleh
Residen Bali. 22 Agustus 1912 menjadi tanggal pilu, MP bertaburan dengan
serangan dari pihak yang merasa dirugikan oleh hadirnya, benar-tidaknya data
yang dipergunakan untuk menyerang kesana-sini sementara itu belum penting. MP
dinyatakan failit, dan Tirto digugat serta disandera oleh para pemberi modal.
Dalam persidangan 17 Desember 1912 ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman
buang dengan dibebani biaya persidangan.
Sekembalinya
dari Ambon Tirto masih mempunyai satu usaha yaitu Hotel Medan Prijaji meskipun
namanya sudah diubah menjadi Hotel Samirono sepeninggalnya di pembuangan dan
ditambah kepemilikan hotel tersebut berpindah pada orang lain pada akhir tahun
1915. Seterusnya Tirto dilanda sakit sampai dengan meninggalnya pada 7 Desember
1918 dalam usia yang sangat muda itu masih tetap tidak ada keterangan ia
menderita sakit apa. Dalam tahun-tahun terakhir R.M. Tirto Adhi Soerjo berada
dalam patah mental juga kematiannya masih mengundang banyak tanda tanya samapai
dewasa ini.
Makam
R.M Tirto Adhi Soerjo sekarang terletak dalam kompleks pemakaman keluarga di
tengah-tengah pemakaman umum Bogor. Sebelum 1973 makam almarhum berada di
Mangga Dua, Jakarta. Pada batu nisan tercantum kata-kata Perintis Pers (sesuai keputusan Menteri Penerangan/Ketua Dewan
Pers, 1973).
“Tulisan
ini bersumber pada buku karya Pramoedya
Ananta Toer yang berjudul Sang Pemula dari penerbit Hasta Mitra.”
Komentar
Posting Komentar