Pada Kesempatan kali ini saya akan re-post tulisan dari Cak Nun yang menurut saya sangat penting dan perlu untuk disebarkan sebagai oasis yang menghilangkan segala dahaga kita dan laparnya lidah kita akan dunia, tulisan ini saya ambil dari situs Bangbangwetan.com (maaf saya belum sempat izin) karena untuk hal kebaikan kita harus lebih mendahulukannya. ^_^V
Cak Nun memberikan saya berupa sudut pandang yang begitu berbeda dalam menyikapi hadist Rosullulah Muhammad SAW yang terkait dengan makan. Betapa dalam pembahasan beliau yang mungkin setiap pembaca akan menemukan pemaknaannya masing-masing. Semoga bisa membantu dalam pencarian kita menuju yang Maha Indah.
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Cak Nun memberikan saya berupa sudut pandang yang begitu berbeda dalam menyikapi hadist Rosullulah Muhammad SAW yang terkait dengan makan. Betapa dalam pembahasan beliau yang mungkin setiap pembaca akan menemukan pemaknaannya masing-masing. Semoga bisa membantu dalam pencarian kita menuju yang Maha Indah.
Oleh: Emha Ainun Nadjib
ILMU Rasulullah Muhammad, “hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum
kenyang”, telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi
mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta
fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati
harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan
menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan
dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu
pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum,
kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua
data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku
cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah
menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya
dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas
menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari
badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa
kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari
persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi makhluk yang bernama manusia.
Tetapi, ilmu pun belumlah “langit” tertinggi dalam kosmos “ahsani taqwin”
sebaik-baik makhluk – manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari
tertikamnya dada seseorang.
Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam
kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta. Cinta adalah
rem, pembijak, pengatif, yang terkadang nikmat terkadang sakit, bagi
kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang.
Ini berlaku pada skala manapun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di
keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu, jika penghayatan akan kebenaran,
bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan
intermanagable, atau dengan kata lain “bersuami-istri dengan hubb” atau cinta,
maka tercapailah tataran “taqwa”.
Taqwa, itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala
perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan
nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta
tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat
manusia.
Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main
menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis
kemungkinan “liga rabb”, yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina-dina
macam kita ini dengan Allah.
Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda
kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika
ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan
orang yang bercinta saja, dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang
bertaqwa.
Kemudian gampanglah bagi kita untuk
memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik,
adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja.
Gampanglah kita perhitungkan: terjadi tikaman, siapa yang menikam dan yang
tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah
mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah
menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan
dan kebahagiaan bersama.
Makan yang Sejati
Rasanya tak enak untuk memuji-muji Muhammad. Ada
situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan
integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural,
untuk situasi semacam itu, saya harus pelit pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu
kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama.
Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata “Muhammad adalah juga yang terpuji”.
Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini
hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu
dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan
ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra “Ya Muhammad kekasih”,
rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan
bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa
terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau
pasti kecewa.
“Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan
sebelum kenyang” adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut
tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari
sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita
cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya
mencari uang, kita sebut “diperbudak oleh perut”. Para koruptor kita gelari
“hamba perut” yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya
sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan
perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor
sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah
mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau
masakan Jepang.
Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah.
Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu
rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus
ribu, aau terkadang sejuta rupiah.
Makhluk lidah termasuk yang menghuni batas antara
jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya
berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks
tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia
membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi
bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan,
inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa.
Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang
berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta
kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang
dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas
menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme,
kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati
dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir
atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur dan peradaban, yang biayanya
menjadi amat, sangat mahal.
Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan
kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan
oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang
menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis
makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya,
pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya juga
menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera
dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek,
menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang
dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan “makan ketika
lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”.
Maka yang bernama “makan sejati” ialah makan yang
sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini
adalah “memberi makan kepada nafsu”.
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya
untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala
perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju
banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan
tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam
sejarah umat manusia, maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari
terbunuhnya efisiensi dan keefektifan.
Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari
naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan
jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan
keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di
samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Kebutuhan Sejati
Aktivitas puasa selalu diartikan – dan memang benar
demikian – sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan
dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka
strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi
kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar,
yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan
makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung
mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari,
kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak
membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam
itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan
kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan “tidak
boleh makan” atau “tidak adanya makanan”, melainkan melawan nafsu itu sendiri
yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian “nafsu” dari “makan”.
Untuk tidak makan dari Subuh hingga Maghrib, putra kita yang baru duduk di
kelas III Sekolah Dasar sajapun sudah sanggup. Untuk “tidak makan”, jauh lebih
gampang dan ringan dibanding untuk “tidak bernafsu makan”, terutama bagi para
penghayat “makan yang sejati”.
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan
tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi
ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya
makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai
perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya,
tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi
rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu
kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga
memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan
kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas “makan” yang
lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda
“biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak
overacting dan juga tidak underacting.” Padahal ilmu “makan sejati” atau “makan
pas”-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala
gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang
nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah para
pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli
pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahayul;
mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya
belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan
budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal
nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau
bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika
model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahayul dan klenik. Para pasien di
rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu
warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli
anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah
tahayul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di
bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan
hukum.
Ini adalah kata-kata “purba”, yang terasa lucu dan
naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap
orang – setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya – akan mendengar kata-kata
semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya
untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia
menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apapun saja hanya
ketika benar-benar dalam keadaan “lapar sejati”, bukan dalam keadaan “merasa lapar
karena nafsu”.
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan,
ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada “makan yang
sejati”. Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak
melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan,
serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah
“makanan palsu”.
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa
dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia
tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia
sudah amat kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati,
kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru
meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.(*)
Komentar
Posting Komentar