Berjalan menjalani kehidupan yang meliuk-liuk ini
begitu melelahkan, kaki ini capek melangkah, tangan ini lelah menahan beban
yang dibawa, punggung ini akankah tetap mampu menahan hantaman kehidupan, pikiran
ini bergelayut terbang ke dunia angan yang tak bertepi dan tak berjurang,
ingin rasanya jatuh saja kedalam lorong hitam gelap agar ku tak perlu repot
dengan ini semua, hati ini berkecambuk resah gundah gulana. Gravitasi seakan semakin
kuat menarik kita untuk jatuh tersungkur mencium bumi yang mulai tandus ini. Tapi
apakah ini kan menjadi akhir dari dialektika panjang kehidupan yang dimulai
sejak ruh itu ditiupkan dalam rahim
ibunda. Tentulah bukan, ini adalah indahnya kehidupan yang penuh nilai
estetika. Hidup ini setelah jatuh bukanlah harus terus tersungkur dan menyerah
tanpa harap untuk bisa bangkit lagi, karena kesucian dalam kehidupan bukanlah
menyerah tanpa harap tapi bangkit lagi dengan penuh kepasrahan kepada Allah SWT
dan penuh harap padaNYA hanya padaNYA.
Amorfati ego fatum, jika diterjemahkan secara harfiah amor berati
cinta, fati adalah takdir, ego ialah diri sendiri, fatum juga bisa dimaknai
dengan kata takdir mungkin ini seperti perubahan bentuk dalam bahasa latin. Jika
digabungkan maka bisa diartikan seperti ini “Cintailah takdir, karena aku ialah
takdir” ditulisan ini saya menentang kata-kata ego fatum dan setuju dengan
amorfati, dikarenakan saya bukanlah takdir karena saya ada didalam takdir itu
sendiri, saya berjalan didalam takdir yang telah ditetapkan, mungkin bisa diartikan juga saya "berjalan" dalam egonya Tuhan. Kata-kata amorfati
ini sering dijumpai kala berbincang dengan filsafat eksistensialisme dari barat,
dimana pahamnya berpusat pada manusia ialah individu yang bertanggung jawab atas
kemauannya sendiri yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar. Atau lebih tepatnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana
yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat
relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang dianggapnya benar yang akan menjadikan semua kebenaran dan kesalahan menjadi absurd. Disinilah kelemahan fatal dari filsafat eksistensialisme itu,
dia (baca: filsafat eksistensialisme) gagal menemukan sebuah makna kebenaran
yang hakiki, kebenaran yang absolute dan yang sejatinya kebenaran. Allah SWT
merupakan kebenaran yang hakiki tersebut kebenaran dari segala puncak kebenaran
yang ada maupun yang belum ada, karena DIA lah semua ini tercipta serta ada
sejatinya hanya DIA lah yang ada. DIA lah awal dan DIA lah akhir.
AMOR FATI
Amorfati (Cinta Takdir) merupakan esensi dari
keberpasrahanan kepada Sang Kholiq dengan penuh kesadaran bahwa dia menerima
apapun yang diberikan kepadanya. Amorfati mengajarkan kepada kita bahwa ada
yang lebih berkuasa dan selalu memelihara semesta ini yang selalu mencintai
ciptaanNYA dan selalu memberikan the best untuk masterpiece yang telah DIA
ciptakan. “Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?” begitulah
firmanNYA kepada yang DIA cintai. Menerima segala takdir yang terjadi dan belum
terjadi merupakan aplikasi nyata dari rukun iman yang ke-6 dan filsuf barat
belum sampai tuntas untuk mengamalakannya. Tidak sedikit jika kita memaknai
kata “amorfati ego fatum” secara harfiah
saja maka akan timbul rasa percaya diri yang tinggi untuk menggapai kebebasan
hidup tanpa batas. Karena ego fatum tadilah yang menghalangi manusia untuk
berjumpa dengan kerendahan hati dan cahaya syukur, maka darinya saya menolak
untuk ego fatum, cukuplah amorfati sebagai rasa cinta saya kepada Illahi Robbi,
Allah azza wa jalla. (Arc)
I love your blog. Keep the good work 😊
BalasHapusThanks a lot. 😁
Hapuspakai tema apa ini mas blognya?
BalasHapusNotable Coral
Hapus