Ceritanya kali ini aku mau membuat tulisan yang bernada
satire, tau satire kan. Yupps udah ketemu di KBBI, singkatnya satire itu
tulisan dengan nada ejekan begitulah. Wah rada rese juga ya kali ini tulisan
ku. Bukan maksud meresi atau apa cuma panggilan hati saja untuk menuliskan ini.
Hahaha :V
Banyak sekali keadaan yang membuatku menjadi lebih menganalisa dan berpikir ulang berkali-kali untuk menemukan jawabannya. Tentunya sudah ku temukan jawaban yang bijak untuk setiap pertanyaan yang ku lontarkan pada itu, tetapi kali ini bukan pernyataan yang bijak itu yang hendak ditulis tetapi pernyataan lain yang bernada satire, pedas layaknya cabe keriting kering. Tadinya mau aku tulis bernada satire, pedas layaknya cabe jalapeno tapi aku belum pernah merasakannya jadi tak usahlah menipu diri sendiri (Intermezzo).
Banyak sekali keadaan yang membuatku menjadi lebih menganalisa dan berpikir ulang berkali-kali untuk menemukan jawabannya. Tentunya sudah ku temukan jawaban yang bijak untuk setiap pertanyaan yang ku lontarkan pada itu, tetapi kali ini bukan pernyataan yang bijak itu yang hendak ditulis tetapi pernyataan lain yang bernada satire, pedas layaknya cabe keriting kering. Tadinya mau aku tulis bernada satire, pedas layaknya cabe jalapeno tapi aku belum pernah merasakannya jadi tak usahlah menipu diri sendiri (Intermezzo).
Yang
pertama atau mungkin pembahasan awal tapi tak menutup kemungkinan ini bisa awal
juga bisa akhir dari pembahasan ku, tergantung isi kepala ku ingin menulis apa
sajalah toh ini kan blog pribadi jadi dapat hak privilege lah mau nulis apa
saja. Sekarang ini pemerintah terlalu sibuk dengan agenda-agenda mereka untuk
menyelamatkan nasib bangsa entah itu dari segi militer, ekonomi, hukum, social,
budaya dan tentunya politik juga. Aku yang cuma bisa nulis di blog macam ini
sekarang hanya bisa mendukung dan mengejek saja selebihnya tak usah dibeberkan
karena mikirin Indonesia itu simalakama. :-D
Bermula dari anak-anak yang suka nongkrong dijalanan, naik kendaraan yang kadang kendaraan itu tak berfungsi sebagai alat transportasi manusia pada umumnya, mereka berpindah dari satu jalan raya ke jalan raya yang lain hari demi hari tanpa aku megerti tujuan mereka, mereka benar-benar manusia yang tangguh karena sudah mempraktekkan gaya hidup nenek moyang kita, nomaden. Sejauh ini aku menyebut mereka anak punk atau kaum marjinal setahu itulah sebutan yang aku tahu selebihnya terserah mereka menyebut diri mereka apa. Mereka anak-anak kirasan umur masih sekolah SMP-SMA bahkan SD juga ada, tapi disisi lain aku sadar umur seperti mereka dimana hasrat pencarian pengakuan begitu deras memicu nadi. Entah lingkungan apa yang menjadikan mereka menjadi seperti itu, hidup gelandangan beratap langit dan beralaskan bumi. Entah musik macam apa yang sudah mereka dengar sehingga begitu membius dan mencandu otak. Racun dopamine apa yang telah mereka minum sehingga hidup dijalan lebih indah dari pada kasih saying orang tua di rumah. Miris. Pasti banyak factor yang menyebabkan mereka sehingga sebegitu gandrung dengan nge-punk dan memarjinalkan diri mereka. Satu lagi apakah mereka benar-benar pernah merasakan menjadi kaum marginal yaitu kaum yang dianggap tidak ada, tersisihkan, menjadi minoritas dan terabaikan. Lantas seberapa menderita hidup mereka lalu dengan mudah memarginalkan diri mereka sendiri, salah siapa ini? Tak usah dijawab karena su’udzon menuduh orang tanpa bukti. :-P
Bermula dari anak-anak yang suka nongkrong dijalanan, naik kendaraan yang kadang kendaraan itu tak berfungsi sebagai alat transportasi manusia pada umumnya, mereka berpindah dari satu jalan raya ke jalan raya yang lain hari demi hari tanpa aku megerti tujuan mereka, mereka benar-benar manusia yang tangguh karena sudah mempraktekkan gaya hidup nenek moyang kita, nomaden. Sejauh ini aku menyebut mereka anak punk atau kaum marjinal setahu itulah sebutan yang aku tahu selebihnya terserah mereka menyebut diri mereka apa. Mereka anak-anak kirasan umur masih sekolah SMP-SMA bahkan SD juga ada, tapi disisi lain aku sadar umur seperti mereka dimana hasrat pencarian pengakuan begitu deras memicu nadi. Entah lingkungan apa yang menjadikan mereka menjadi seperti itu, hidup gelandangan beratap langit dan beralaskan bumi. Entah musik macam apa yang sudah mereka dengar sehingga begitu membius dan mencandu otak. Racun dopamine apa yang telah mereka minum sehingga hidup dijalan lebih indah dari pada kasih saying orang tua di rumah. Miris. Pasti banyak factor yang menyebabkan mereka sehingga sebegitu gandrung dengan nge-punk dan memarjinalkan diri mereka. Satu lagi apakah mereka benar-benar pernah merasakan menjadi kaum marginal yaitu kaum yang dianggap tidak ada, tersisihkan, menjadi minoritas dan terabaikan. Lantas seberapa menderita hidup mereka lalu dengan mudah memarginalkan diri mereka sendiri, salah siapa ini? Tak usah dijawab karena su’udzon menuduh orang tanpa bukti. :-P
Akhirnya aku bisa menulis bagian
keduanya, tak kusangka. Yaaah akhir-akhir ini aku juga mulai berpikir dengan
adanya kelompok yang memaktub diri mereka bisa memberikan sebuah pencerahan
kepada manusia yang lain, bisa inspire ke yang lain. Ohh tidak apa aku saja
yang berpikir bahwa mengispirasi adalah pekerjaan Tuhan yang Agung, mungkin
kalo memotivasi ada sedikit hak veto lah manusia untuk memotivasi yang lain karena
tentunya manusia itu harus fatabiqul khoirot. Kalo memberikan pencerahan betapa
tingginya hak itu, singkat kata itu hanya sekedar proyek eksistensi yang
terbungkus rapi, akhir-akhirnya famous juga itu. Sorry lho ya aku ingatkan lagi
ini tulisan memang sengaja dibuat satire, hitung-hitung belajar. Yohoho.. Pasti
yang pro acara seperti itu ya tentunya akan bertanya “kenapa kamu (yang
dimaksud penulis) hanya bisa berdiam dan perpangku tangan saja?” yaelah untuk
saat ini inspirasi itu bukan wilayah ku, itu yang ada didalam benak apa lagi
aku yakin itu proyek eksistensi, jadi tidak ada minat untuk join. Cukup
jelaskan penjelasannya, aku tak mau bicara panjang jika diminta membuktikan toh
juga akan disanggah. Kalian melakukan hal yang benar kog menurut kalian, jadi
lakukan saja. Toh hidup ini tak akan menarik jika tidak ada paradoksnya kan.
Sekian tulisan satire ini dibuat
dimohon pemakluman bagi yang membaca karena satire ini kurang pedas dan
menggigit tapi sudah cukup memakili isi pikiran dan hati untuk diungkapkan.
Karena tidak akan ada keindahan warna sastra jika kita sering membaca gaya
bahasa yang itu-itu saja dan tidak akan bertambah luas pola pikir kita jika
hanya mengikuti yang itu-itu saja. Intinya jangan itu-itu aja. Sampai jumpa
ditulisan selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar